[KBR|Warita Desa] Jakarta | Adyla Rafa Naura Ayu baru berusia 15 tahun, tapi sudah ada beberapa Whats App Group yang didedikasikan untuknya – untuk alasan yang salah. Whats App Group itu dibuat untuk menghujat Naura, putri dari Riafinola Ifani Sari atau Nola B3. Seperti ibunya, Naura juga berkecimpung di bidang musik. Ia juga sudah mengeluarkan beberapa album dan memperoleh penghargaan.
Nola B3 berang dan mengungkapkan kekesalannya lewat Instagram Story dari akun The Baldys, pada Senin (3/8/2020) lalu.
"Ada apa dengan kalian?? Bikin grup cuma untuk hujat anak kami? Anak saya salah apa ya? Inget yaa jejak kalian bisa dilacak, dan kami kumpulkan bukti tulisan kalian.”
Orangtua Naura mengancam akan membawa kasus tersebut ke ranah hukum. Langkah ini juga yang diambil presenter Ruben Onsu, terhadap kasus cyberbullying yang menimpa anaknya, Bertrand Peto. Foto Bertrand diedit, lantas diganti dengan gambar wajah hewan. Pelakunya diketahui adalah anak di bawah umur.
Apa itu cyberbullying?
Secara sederhana, cyberbullying diterjemahkan sebagai perundungan di dunia maya. Badan perlindungan anak internasional, UNICEF, mendefinisikan ini sebagai perundungan dengan menggunakan teknologi digital, yang bisa terjadi di media sosial, platform chatting, bermain game serta ponsel. Survei UNICEF tahun 2019 menyebut, 1 dari 3 remaja di 30 negara mengaku pernah jadi korban cyberbullying. Sementara 1 dari 5 remaja pernah bolos sekolah karena cyberbullying dan kekerasan.
Jumlah kasus perisakan (bullying) di Indonesia cukup tinggi. Hasil riset Polling Indonesia, yang bekerja sama dengan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2019 menyebut hampir separuh pengguna internet pernah dirisak di media sosial. Respons terhadap perisakan juga beragam. Respons paling banyak adalah membiarkan pelaku. Kurang dari 10% yang memutuskan untuk membalas dengan perisakan, ada juga yang menghapus ejekan tersebut. Hanya 3,6 persen yang melaporkan kasus perisakan kepada pihak berwajib.
Tempat-tempat yang dianggap rentan bagi seseorang untuk jadi korban perisakan adalah media sosial – Facebook, Instagram, Snapchat dan Twitter.
Dampak dan cara mengakhiri perisakan
Luka akibat cyberbullying mungkin tak nampak di permukaan macam luka tergores, tapi ini bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh oleh remaja maupun orangtua. UNICEF merinci dampak perisakan yang bisa terjadi, yaitu merusak mental karena merasa kesal, malu, bodoh bahkan marah. Perisakan juga melukai secara emosional sehingga seseorang bisa kehilangan minat pada hal-hal yang disukai. Dampak fisik juga bisa muncul, dalam bentuk Lelah karena kurang tidur atau mengalami gejala seperti sakit perut dan sakit kepala.
Dengan dampak yang begitu besar, UNICEF menyerukan semua pihak untuk mengakhiri perisakan dan kekerasan secara online, baik di sekolah maupun di rumah. Misalnya dengan menerapkan kebijakan yang melindungi anak-anak dan remaja dari perisakan, termasuk membuat saluran bantuan nasional sebagai tempat bersandar. Orangtua dan guru juga diharapkan bisa punya pemahaman soal apa itu bullying dan cyberbullying sehingga bisa aktif mencegah, terutama bagi kelompok rentan.
Surat cinta melawan cyberbullying
Joshua Suherman, eks penyanyi cilik itu, punya cara sendiri melawan cyberbullying yang dihadapinya. Serangan-serangan muncul saat ia mulai berpacaran dengan Clairine Clay.
Dalam surat Joshua yang ditulis kepada Clay, Joshua menyebut kalau ia masih ingat komentar-komentar warganet +62 yang mengomentari hubungan mereka. Misalnya “nggak nyangka Clay pansos” atau membandingkan Joshua dengan mantan pacar Clay dengan kalimat seperti “gantengan mantan Kak Clay!”
“Gue rasa sudah saatnya orang berhenti menilai sesuatu dari persepsi mereka mentah-mentah. Dan betapa orang itu berani berkata sesuatu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, dari balik akun media sosial mereka,” kata Joshua dalam percakapan dengan produser podcast Dear Dearest, Asrul Dwi.
“Gue nggak bisa melarang orang untuk berkomentar seperti itu,” kata Joshua. “Gue pribadi m