[KBR|Warita Desa] Jakarta | Kokok Dirgantoro, bos perusahaan konsultan komunikasi, sudah membayarkan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada karyawan. THR itu dicairkan penuh tanpa dicicil, apalagi dipotong. Pembayarannya pun dilakukan lebih cepat dari ketentuan pemerintah.
"Kami membagikan tanggal 8 (Mei). THR full, memang sudah seharusnya kan?" kata Kokok saat dihubungi KBR, Jumat (15/5/2020).
Kokok memilih tetap mengutamakan pemenuhan hak karyawan, meski perusahaan ikut terdampak pandemi.
"Kami sudah jalan tujuh tahun. Saya rasa memberikan apa yang jadi hak karyawan itu penting. Mereka sudah loyal kepada saya, tidak hanya di masa yang senang-senang, ada banyak pekerjaan. Di masa sulit pun mereka juga stay membantu saya. Mereka layak lah untuk dapat THR,” ujar dia.
Kokok rela tak ikut menikmati THR tahun ini, demi memastikan pemenuhan hak para pekerjanya. Langkah ini diikuti koleganya di jajaran manajer.
"GM Finance menolak mau menemani saya, nggak mau terima THR. Jadi yang dapat THR total 14 orang, yang 2 nggak dapat dulu," imbuh Kokok.
Kokok menabung saban bulan sebagai dana cadangan. Sebagian dana itu kemudian bisa digunakan untuk membayar THR. Sejak pandemi, perusahaan juga memangkas biaya operasional untuk bertahan hidup.
"Kalau dibutuhkan, saya sudah pasang badan untuk potong gaji atau tidak terima bonus. Saya sudah bersiap untuk tidak menerima itu, yang berkorban saya dulu," ungkap Kokok yang juga dikenal publik sebagai politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ini.
Di sektor ritel, sebagian perusahaan justru mengeruk untung di masa pandemi. Hal ini berimbas pada nasib THR karyawan.
Fajar Apriliansyah sangat bersyukur masih bisa menikmati THR di tengah masa sulit. Pekerja salah satu minimarket di Bandung ini menerima THR penuh tanpa disunat sepeser pun.
"Alhamdulillah sudah dapat THR, nggak dicicil maupun dipotong. THR-nya sebelum dua minggu Lebaran. Di masa pandemi banyak karyawan di-PHK. Ada yang gaji dan THR-nya hanya setengah. Tapi di perusahaan ritel, THR full, tepat waktu pula," ujar Fajar kepada KBR, Jumat (15/5/2020).
Fajar akan menggunakan THR-nya untuk biaya persiapan pernikahan. Sisanya bakal ditabung sebagai dana darurat jika situasi pandemi memburuk.
"Soalnya takut terjadi krisis moneter. Di masa pandemi seperti ini, kerjaan susah, maka ditabung dulu saja," tutur dia.
Sementara itu, Evina Wijaya, pemilik usaha periklanan, baru sanggup membayarkan separuh THR pada Mei ini. Ia berjanji akan memberikan sisanya lain waktu.
"Yang 50 persen lagi akan dibayarkan, belum tahu kapan sih, lihat keadaan. Di kantor, kita semua posisinya sama (THR) 50 persen. Karena kantornya skala UMKM. Yang tergolong manajemen itu owner langsung, cuma saya dan suami," kata Evina kepada KBR, Jumat (15/5/2020).
Menurut Evina, selama pandemi, omzet perusahaan anjlok setengahnya. Ia terpaksa memangkas berbagai pengeluaran, termasuk gaji karyawan.
"Work from Home otomatis listrik di kantor dimatikan, internet juga kita turunkan biaya langganannya. Biar pun tidak achieve, tapi kita masih bisa gaji karyawan 30 persen selama pandemi," tutur dia.
Tak sedikit pula sektor usaha yang terpaksa vakum akibat pandemi. Banyak karyawan dirumahkan tanpa digaji. Praktis, THR hanya tinggal angan. Seperti yang dialami Didik, warga Semarang, Jawa Tengah. Perusahaan percetakan tempatnya bekerja selama 11 tahun, harus tutup sementara sejak akhir Maret lalu.
“Tahun ini perusahaan kebetulan harus tutup, tidak ada omzet sehingga semua karyawannya dirumahkan. Jelas tidak ada THR untuk tahun ini, untuk gaji saja tidak bisa dibayarkan,” kata Didik.
Bagi Didik, ketiadaan gaji dan THR merupakan pukulan berat. Selama ini, penghasilannya menjadi penyokong utama ekonomi keluarga.
"Saya sebagai kepala rumah tangga, ada anak, istri. Ada kebutuhan anak-anak, susu dan tetek bengek sekolah yang selama di rumah ini harus pakai kuota data, ya cukup melonjak. Sehingga ya posisinya sangat-sangat berat. Belum lagi cicilan motor," ujar dia.
Oleh : Valda Kustarini, Astri Yuana Sari
Editor: Ninik Yuniati