[KBR|Warita Desa] Jakarta | Ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI), dr. Pandu Riono, mendesak pemerintah mencabut regulasi yang mengatur tes cepat antibodi sebagai syarat untuk bepergian. Pandu beralasan, rapid test antibodi tersebut tidak memiliki hasil akurat.
Regulasi tersebut diatur lewat Surat Edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nomor 9 Tahun 2020 dan Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor HK.02.01/Menkes/382/2020. Namun aturan ini justru dianggap memberatkan dan merugikan masyarakat.
"Rapid test itu untuk mendeteksi antibodi. Jadi bukan mendeteksi virus dari Covid-19. Apa itu antibodi? Antibodi adalah reaksi imun dari tubuh bila ada virus masuk, dia akan membuat antibodi, ya kan. Dan itu yang dideteksi dengan rapid test. Kita ngetesnya melalui darah, biasanya darah tepi. Nah kalau hasilnya non-reaktif, itu artinya tidak ada antibodi, tetapi itu bukan berarti tidak ada virus." ujar pandu kepada KBR, Selasa (07/07).
Pandu menjelaskan antibodi terbentuk setelah seminggu atau lebih terinfeksi virus.
"Terbentuk antibodinya seminggu atau lebih, baru terjadi, dan di saat itulah terdeteksi. Nah kalau hasilnya reaktif, itu tes itu mendeteksi adanya antibodi. Problem-nya, itu hanya mendeteksi antibodi apakah sekarang masih ada virusnya atau tidak. Makanya biasanya dilanjutkan dengan pemeriksaan PCR. Jadi baru terdeteksi." Jelas dia.
Dokter Pandu heran dengan keputusan pemerintah menggunakan rapid test.
"Tidak tahu kenapa gitu lho. Kenapa rapid test ini dipakai dalam penanggulangan. Apakah karena keterbatasan PCR? Keterbatasan PCR tidak tergantikan harus dengan rapid test. Sejak awal pandemi ini kan tiba-tiba sudah ada yang mengimpor banyak, BUMN kalau tidak salah mengimpor banyak (alat) rapid test. Dan saat itulah otoritas untuk penanggulangan respon ini mengizinkan, jadi melewati otoritas kedaruratan. Sekarang itu 100an lebih (alat) rapid test beredar di Indonesia" kata dia.
Dia menilai alat tes cepat ini tidak berguna untuk sebagai respon terhadap pandemi.
"Negeri ini kayak negeri surga, yang untuk rapid test sampai yang abal-abal (sampai) mungkin yang berkualitas. Karena tidak ada evaluasi sama sekali. Ini yang membuat kita menjadi sampah. Orang-orang menggunakan dan kita juga memakainya. Yang sekaligus juga diatur dalam regulasi, harus begini, harus begini, padahal tidak ada manfaatnya sama sekali yang terkait untuk respon pandemi. Bahkan dipakai untuk rapid test massal, di pasar, di stasiun, mana saja, ya kan, harapannya untuk screening. Screening gimana? Kok screening itu logikanya mendeteksi orang dengan virus, bukan dengan antibodi. Keliru!" Kritik dokter Pandu.
Dia melanjutkan, rapid test masih bisa digunakan untnuk mereka yang sudah sembuh.
"Masih bisa dipakai. Kalau sudah orang sembuh, sudah pengobatan, kita ingin tahu apakah dia membentuk antibodi walaupun tidak ada virusnya, sehingga kita bisa lebih yakin 'Oh dia sudah terbentuk antibodi, dah kita katakan dia bisa untuk pulang ke rumah', bisa seperti itu. Tapi tidak bisa untuk screening, apalagi untuk persyaratan naik pesawat, naik kapal terbang, naik kereta, atau moda transportasi yang lain. Bahkan dipaksa untuk peserta uji testing. Aduh, saya kira ini kewarasan kita ini sudah luar biasa tidak dipakai gitu lho. Saya kira pemerintah sekarang harus mengevaluasi semua bahwa ini tidak tepat, dicabut, dan tidak perlu."
Sebelumnya Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengatakan masyarakat yang hendak melakukan perjalanan wajib memiliki surat keterangan bebas corona (Covid-19). Kata dia, masyarakat wajib mengikuti tes deteksi Covid-19 sebelum bepergian ke daerah lain.
"Setiap orang yang bepergian wajib menunjukkan surat keterangan telah mengikuti rapid test untuk jangka waktu kedaluwarsa 3 hari, dan PCR test untuk jangka waktu kedaluwarsa 7 hari di setiap tempat pemeriksaan. Apakah di bandara, di pelabuhan, maupun di check point selama melaksanakan perjalanan darat termasuk di kereta api," ujar Doni dalam konferensi pers Senin (25/05/20).